TEMPO.CO, Jakarta - Stunting menjadi permasalahan yang tak kunjung selesai lantaran masih banyak orang tua yang tak paham kebutuhan asupan gizi pada anak. Situs Judi Online
Prof. Dr. Dodik Briawan MCN, pengajar dan peneliti Departemen Gizi Masyarakat FEMA IPB, menyampaikan intervensi gizi perlu dilakukan dalam bentuk edukasi secara berkesinambungan kepada masyarakat, terutama orang tua.
“Orang tua harus paham betul kebutuhan nutrisi anak, makanan yang baik dan tidak baik,” katanya di Jakarta.
Paling tidak, katanya, orang tua tidak terpengaruh gaya hidup yang serba instan. Pasalnya, banyak orang tua yang terpengaruh dengan iklan produk makanan anak yang terkadang menjanjikan hal yang berlebihan.
Berdasarkan catatan Bappenas, permasalahan gizi buruk menyebar di seluruh wilayah dan lintas kelompok pendapatan.
Artinya, permasalahan stunting dan gizi buruk tidak hanya dialami masyarakat ekonomi lemah, namun juga masyarakat menengah ke atas.
Penyebabnya adalah pemahaman masyarakat yang salah terkait kebutuhan nutrisi anak.
WHO menetapkan batas toleransi stunting (bertubuh pendek) maksimal 20 persen atau seperlima dari jumlah keseluruhan balita.
Di Indonesia tercatat 7,8 juta dari 23 juta balita adalah penderita stunting atau sekitar 35,6 persen. Sebanyak 18,5 persen kategori sangat pendek dan 17,1 persen kategori pendek.
Ini juga yang mengakibatkan WHO menetapkan Indonesia sebagai negara dengan status gizi buruk.
Stunting tertinggi terdapat di Sulawesi Tengah dengan jumlah 16,9 persen dan terendah di Sumatra Utara dengan 7,2 persen. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), pemerintah menargetkan penurunan prevalensi stunting dari status awal 32,9 persen menjadi 28 persen pada 2019.
Untuk pengurangan angka stunting, pemerintah juga telah menetapkan 100 kabupaten prioritas yang akan ditangani di tahap awal, kemudian dilanjutkan 200 kabupaten lainnya. BANDAR POKER ONLINE
0 comments:
Post a Comment