SAYA tertawa kecut setelah membaca sebuah status seorang teman yang bekerja sebagai dokter di akun Instagramnya. Rupanya ia sedang terlibat dalam sebuah kegiatan bakti sosial untuk masyarakat menengah ke bawah yang sedang membutuhkan bantuan pengobatan. Agen Bandar Q
"Ketika lo gemes pengen nyubit pasien lo, tapi gak bisa. ????????????????????" begitu tulisnya dengan gaya santai. Ia melanjutkan cerita dalam caption-nya:"Jadi, ini nenek usia 72 tahun datang ke posko baksos dengan keluhan batuk-batuk sudah 3 hari, tenggorokan gatal, gak ada demam, dsb dsb. Waktu dilakukan pemeriksaan fisik, tercium bau rokok yang nyengaaat bgt. Akhirnya ditanya deh ama dokternya : "Nek, nenek abis ngerokok ?", sang Nenek cengengesan jawab : "Iya dok, tadi. " ... dokternya ngelus dada. Ditanya lagi ama dokternya "ngerokok udah berapa lama, Nek ? Sehari bisa berapa bungkus ?". Kemudian beliau jawab,"Nek mah ngerokok udah lama, sehari bisa 3 bungkus. Ini nek abis ngeroko Gud*ang Gar4m Merah, makanya gatel ama batuk tenggorokannya...Dokternya langsung ngunyah stetoskop."
Saya kemudian bertanya dalam hati,"Berapa banyak orang-orang yang berada di kalangan menengah bawah yang seperti nenek ini?" Mereka menjalani cara (bukan 'gaya', karena gaya cenderung berlangsung sesaat) hidup yang sama sekali jauh dari kata sehat.
Teringatlah saya dengan isu defisit BPJS yang baru-baru ini mengemuka. Menurut berita, pemerintah kebingungan mencari cara untuk menutup defisit yang konon sampai Rp9 triliun di tahun ini. Menteri Keuangan Sri Mulyani memutar otak dan mengusulkan untuk mendorong (baca:mendesak) agar para pemerintah daerah di seluruh Indonesia tidak cuma mengampanyekan warganya untuk mendaftar BPJS tetapi juga ikut berpartisipasi menanggung biaya BPJS warganya bersama pemerintah pusat. Mungkin bisa dipahami para pemerintah daerah ini berpikir,"Ayo daftar. Kan kalau sakit, bisa gratis berobatnya!"
Bu menteri juga ingin agar hasil cukai rokok dibagikan untuk menyokong pengeluaran BPJS yang makin tinggi saja ini. Apakah ini adil? Tentu saja adil, apalagi kalau kita lihat banyaknya perokok aktif di masyarakat menengah bawah yang meski tahu kebiasaan itu tidak sehat tapi tetap saja merokok.
Tetapi apakah kedua cara itu pasti mustajab?
Saya tidak yakin sukses dalam jangka panjang. Kenapa? Karena akar masalahnya bukan pada bagaimana menutup defisit itu saja tetapi bagaimana mengarahkan masyarakat kita agar menjalani cara hidup sehat sebisa mungkin. Karena seperti yang kita semua pahami, mencegah lebih baik daripada mengobati.
Jadi, selain BPJS dan pemerintah pusat bisa berjuang mencari tambahan sumber dana untuk menutup defisit yang tak terkendali itu, ada baiknya mereka mulai memikirkan bagaimana mencegah masyarakat sakit. Tidak bisa disangkal sehat itu mahal dan sakit? Jauh lebih mahal dan merepotkan.
Dengan demikian, masyarakat perlu juga didesak untuk segera menjalani cara hidup yang lebih sehat. Kita semua tahu apa cara hidup sehat, bukan? Makan dan minum seimbang, sehat dan alami, berolahraga teratur, istirahat cukup, tidak merokok dan sebagainya.
Dan jika sudah dikampanyekan dan diajak sedemikian rupa untuk sehat tetapi masih ada yang membandel untuk seenaknya bergaya hidup kurang sehat, ada baiknya BPJS dan pemerintah mempertimbangkan kemungkinan mengurangi fasilitas bagi mereka yang masih memilih gaya hidup tak sehat seperti merokok, terlalu sering makan fast food, malas olahraga dan sebagainya.
Di sinilah peran pemerintah sangat diperlukan juga untuk membuat kebijakan-kebijakan yang pro-cara hidup sehat. Misalnya, daripada membangun lebih banyak mall, pertimbangkan membangun lebih banyak ruang terbuka hijau yang dilengkapi peralatan olahraga sederhana terutama di perkotaan karena di sinilah masyarakat lapisan menengah bawah yang tidak bisa mengakses gym mahal, bisa berolahraga dan tetap sehat. Contoh yang sudah ada menurut pengamatan saya sudah bisa ditemui di Taman Menteng dan Situ Lembang, Jakarta Pusat. Masyarakat bisa datang tanpa dipungut biaya untuk berolahraga.
Dan yang tidak ketinggalan, pemerintah melalui Departemen Kesehatan mestinya meregulasi jenis makanan yang beredar di masyarakat. Kita bisa lihat makanan-makanan dan minuman yang beredar dan dikonsumsi masyarakat kita saat ini dipenuhi dengan MSG, garam, gula, lemak, kolesterol jenuh, pewarna buatan dan zat-zat kimia yang jika dikonsumsi berlebihan bisa berdampak buruk bagi kesehatan.
Kondisi ini masih diperparah dengan kesadaran konsumen di Indonesia yang tidak begitu sadar dengan kesehatan mereka. Di sini, konsumen sangat lemah padahal jika mereka mau bersatu, mereka bisa mendesak produsen-produsen makanan dan minuman untuk menjadikan produk mereka lebih sehat untuk dikonsumsi dan mendorong pemerintah untuk memberikan sanksi bagi para perusahaan dan pengusaha makanan dan minuman yang tidak menaati aturan. Domino 99
0 comments:
Post a Comment